Islam adalah agama Allah. yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. untuk
semua manusia yang juga merupakan agama penyempuma dan agama Allah yang
diturunkan kepada rasul-rasul sebelumnya. Agama Islam memberikan pedoman
menyeluruh, mencakup segala aspek kehidupan, yaitu: aqidah, ibadah, akhlaq dan
muämalah. Aspek aqidah dan ibãdah diajarkan dalam bentuk absolut yang tidak
menerima perubahan sepanjang zaman. Dengan kata lain, manusia tidak bisa
menambah, mengubah dan mengurangi aspek-aspek tersebut. Sedangkan bidang
mu‘amalah pada umumnya diajarkan dalam bentuk global, yaitu hanya berupa
kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum yang dalam penerapannya di kehidupan
masyarakat dapat mengikuti perkembangan zaman.[1] Kaidah-kaidah
dan patokan-palokan ini berguna unluk mengatur pergaulan, tempat setiap orang
melakukan perbuatan dan berinteraksi dengan masyarakatnya, yang disebut juga
hubungan mu’amalah, agar tidak terjadi bentrokan-bentrokan dalam pelaksanaan
hak dan kewajiban yang timbul akibat interaksi tersebut.[2]
Membicarakan masalah muamalah khususnya pelaksanaan peianjian kerja atau ijӑrah,
maka hal ini tidak bisa terlepas dari pengertian, dasar hukum, dan segala
sesuatu yang berkaitan dengannya.
A.
Pengertian dan Dasar Hukum Ijӑrah
1.
Pengertian Ijӑrah
Perjanjian kerja merupakan akad yang di dalam hukum Islam
dimasukkan ke dalam sewa-menyewa. Dalam literatur fiqh, sewa menyewa disebut
dengan ijӑrah. Ijӑrah
berasal dari fiil madhi âjara, yang
berarti memeberikan upah. Menurut undang-undang kerja Jordania dan Uni Emirat
Arab (UEA), ijӑrah adalah memberi
penyewa kesempatan untuk mengambil pemanfaatan dan barang yang disewa untuk
jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besamya telah disepakat.[3]
Menurut bahasa, ijӑrah
berarti upah, ganti atau imbalan atas sesuatu perbuatan.[4] OIeh
karena itu, Iafadz ijӑrah mempunyai pengertian
umum yang meliputi upah atas pemanfaatan sesuatu benda atau imbalan sesuatu
kegiatan, atau upah karena melakukan sesuatu aktivitas sedangkan menurut
istilah merupakan akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan
memberikan imbalan dalam jumlah tertentu.[5] Ijӑrah
juga berarti pemilikan jasa dan seoarang ajir (orang yang dikontrak
tenaganya) oleh mustajir (orang yang mengontrak tenaga), serta pemilikan harta
dan pihak mustajir oleh searang ajîr. Ijӑrah
merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai kompensasi.[6] Maka
dari itu menyewakan pohon agar dimanfaatkna buahnya hukumnya tidak sah karena
pojon itu sendiri bukan keuntungan atau manfaatnya. Demikian juga dengan jenis
mata uang seperti logam dan perak, makanan untuk dimakan, atau sejenisnya.
Alasannya, karena semua jenis barang tersebut tidak dapat dimanfaatkan kecuali
dengan mengkonsumsi bagian dari barang itu.[7]
Sewa-meyewa dalam pengertian yang diberikan oleh pasal
1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah: “Suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu mengikat dirinya untuk memberikan barang selama waktu tertentu
dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi
pembayarannya .[8]
Dalam akad sewa menyewa terutama jasa diperlukan
adanya upah sebagai balasan atas apa yang pekerja lakukan. Dalam Islam Upah
adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya alam bentuk imbalan
materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat
(imbalan yang lebih baik). Perbedaan pandangan terhadap Upah antara Barat dan
Islam terletak dalam dua hal : pertama, Islam melihat Upah sangat besar
kaitannya dengan konsep Moral, sementara Barat tidak. Kedua, Upah dalam
Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus
batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut dengan Pahala, sementara
Barat tidak. Adapun persamaan kedua konsep Upah antara Barat dan Islam
terletak pada prinsip keadilan (justice) dan prinsip kelayakan
(kecukupan).[9]
Dari beberapa pengertian di atas, terlihat bahwa yang dimaksud
dengan sewa-menyewa itu adalah pengambilan atau pemilikan manfaat suatu barang.
Jadi dalam hal ini barangnya tidak berkurang sama sekali. Dengan perkataan
lain, dengan terjadinya peristiwa ijӑrah yang berpindah
hanyalah manfaat dan barang yang disewakan tersebut. Dalam hal ini dapat berupa
manfaat barang atau dapat pula berupa kerja seseorang yang mencurahkan
tenaganya.
Terkadang kita anggap bahwa upah itu harus diberikan
sama terhadap setiap pekerja, padahal ada perbedaan upah antara pekerja satu dengan
yang lainnya. Ada beberapa factor yang menjadi perbedaan upah, diantaranya
adalah perbedaan diantara berbagai tingkatan pekerja, karena adanya perbedaan
kemampuan bakat yang mengakibatkan perbedaan penghasilan dan hasil material
diakui dalam al-Qu’ran :
wur
(#öq¨YyJtGs? $tB @Òsù ª!$#
¾ÏmÎ/ öNä3Ò÷èt/
4n?tã <Ù÷èt/ 4
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR
$£JÏiB (#qç6|¡oKò2$#
(
Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR
$®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4
(#qè=t«óur ©!$#
`ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù
3
¨bÎ)
©!$#
c%2 Èe@ä3Î/
>äó_x« $VJÎ=tã
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa
yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian
yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Islam tidak percaya kepada persamaan yang tetap dalam
distribusi kekayaan, karena kemajuan social apapun dalam arti yang sebenamya
menghendaki kesempatan sepenuhnya bagi pertumbuhan bakat, yang pada gilirannya
menuntut pengakuan bagi perbedaan mengenai upah.[10]
2.
Dasar hukum ijӑrah
Menurut jumhur ulama ahli fiqh, ijӑrah
disyari’atkan dalam Islam berdasarkan aI-Qur’an dan as-Sunnah.
a.
A1-Qur’an
Oèdr& tbqßJÅ¡ø)t |MuH÷qu y7În/u 4
ß`øtwU $oYôJ|¡s% NæhuZ÷t/ öNåktJt±Ïè¨B Îû Ío4quysø9$# $u÷R9$# 4
$uZ÷èsùuur öNåk|Õ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy xÏGuÏj9 NåkÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/ $wÌ÷ß 3
àMuH÷quur y7În/u ×öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs [11]
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.
dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»t çnöÉfø«tGó$# ( cÎ) uöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# [12]
Salah seorang dari kedua wanita itu
berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),
Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya".
b.
As-Sunnah
Artinya : Berikanlah upah kepada para pekerja sebelum
kering keringatnya.
عَنْ
اِبنُ عَبَاسٍ رَضِي اللهُ عَنهُ قال : اِحْتَجَمَ النَّبِيُ صَلى الله عليهِ
وَسلَّم وَأعطَى الْحَجَّامَ اَجْرَه ُ [14]
Artinya : Dari Ibnu ‘Abbas r.a beliau berkata : “
telah berbekam Nabi Muhammad saw lalu beliau membayar upahnya kepad orang yang
membekamnya.
Dari ayat dan hadis Nabi di atas tadi diterangkan secara
jelas mengenai masalah ijӑrah, oleh karena itu
untuk menjelaskan ijӑrah secara rinci digunakan
qiyas yaitu dengan cara mengambil ‘ilat hukumnya. Pada dalil-dalil di
atas sebagai contoh ‘ilat hukumnya adalah imbalan (upah), sedangkan furu’nya
adalah akad yang terjadi yang menimbulkan kewajiban memberikan imbalan
tersehut.
Antara hukum yang disebutkan di dalam nas dan hukum
teori tersebut di atas terdapat persamaan ‘ilat yakni imbalan yang
diberikan kepada seseorang sebagai ganti atas jasa atau manfaat yang diberikan
kepada orang lain. Imbalan yang diherikan atas tangan dinamakan ijӑrah al-ahl dan
imbalan yang diberikan atas pemanfaatan suatu barang atau binatang dinamakan ijӑrah
al-’ain.
c.
Ijma’ Ulama
Ulama’ pada zaman sahabat telah sepakat akan kebolehan
akad ijӑrah,
hal ini didasarkan pada kebutuhan masyarakat akan jasa-jasa terntentu seperti
halnya kebutuhan kebutuhan akan barang, ketiika akad jual beli diperbolehkan
maka, maka terdapat suatu kewajiban untuk membolehkan akad ijӑrah
atas manfaat atau jasa. Karena pada hakikatnya akad ijӑrah
adalah akad juak beli, namun dengan obyek manfaat atau jasa.[15]
Hukum dibolehkannya ijӑrah
dilandasi adanya keuntungan kedua belah pihak. Maka dengan dalil maslahat
mursalat, yaitu mencari kebaikan (maslahat) untuk mengerjakan atau meninggalkannya,
sesuatu itu boleh dikerjakan selama membawa manfaat dan menghindarkan
keburukan.
Dalam hal maslahat mursalat, A. Hanafi menjelaskan
tiga syarat:[16]
1)
Hanya berlaku dalam hal muamalat, karena mengenai
soal-soal ibadah tetap tidak berubah-ubah.
2)
Tidak berlawanan dengan maksud syara’
atau salah satu dalilnya yang sudah dikenal.
3)
Maslahat
adalah adanya suatu kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.
3.
Al-Ijӑrah
dan Asas-asas Mu’amalah
Bidang muämalah merupakan bidang yang luas ruang
lingkupnya, dan baik al-Qur’an maupun as-Sunah telah menjelaskan bahwa
aturan-aturan hukum tentang muamalah masih bersifat umum dan global. Hal ini
dimaksudkan antara lain agar aturan-aturan hukum tentang muamalah tetap mampu
mengikuti perkembangan dan dinamika sosial. Dengan kata lain agar aturan-aturan
muamalah tersebul sejalan dengan perkembangan zaman. Al-Qur’an dan as-Sunah
tidak mungkin menyebutkan secara terperinci aspek hukum muamalah yang telah ada
pada zaman Nabi saw. dan yang akan datang dalam perkembangan selnjutnya
Hal ini berarti manusia diberi kebebasan untuk
mengatur aktifitas muamalah-nya sedeimikian rupa asalkan tidak bertentangan
dengan aturan-aturan syari’at yang masih bersifat umum dan global tersebut,
sebagai asas dan prinsip dalam ber-muamalah. Dengan kata lain peranan ijtihad
dalam bidang muamalah sangat besar. Dan untuk menjalankan ijtihad itu,
pedoman-pedoman pokok yang diperoleh dari dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah
maupun sumber hukum yang lain sebagai asas dan prinsip muamalah harus
senantiasa dipegang teguh.
Adapun asas-asas hukum muamalah yang dimaksud, adalah:
[17]
1.
Pada dasamya segala bentuk muamalah
adalah boleh (aL-Ibahah) kecuali yang ditentukan lain dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah. Hal ini ini sesuai dengan kaidah:
2.
Muamalah dilakukan atas dasar suka sama
suka tanpa mengandung unsur paksaan.
Allah SWT. berfirman:
Kecuali dengan jalan pemiagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
3.
Mu‘amalah dilakukan atas dasar
pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindarkan madharat dalam kehidupan
masyarakat.
Allah berfirman :
¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# [20]
dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.
4.
Muamalah dalaksanakan dengan memelihara
keadilan, dan menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur-unsur pengambilan
keuntungan dalam kesempitan orang lain.
Allah SWT. berfirman:
¨bÎ) ©!$# ããBù't ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGÎ)ur Ï 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏèt öNà6¯=yès9 crã©.xs?
Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
[1]Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan
Keislaman (Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi), (Bandung: Mizan,
1994) hal. 19.
[2] Ahmad Azhar Basyir. Asas-asas Hukum Muamalat
(Yogyakarta : Fak. Hukum U1I, 1993), hal. 7
[3] Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer
(Yogyakarta: Ull Press, 2000) hal. 84
[4] Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir,
(Yogyakarta : UPPK al-Munawir, 1990). hal. 1095
[6] Taqiyyuddin An-Nabhani, Membangun Sisiem Ekonorni
Alternatif Perspektif Hukum Islam, Terj M. Maghfur Wahid (Surabaya: Risalah
Gusti, 1996), hal. 83.
[7] Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah, Penerjemah Nour Hasanudin, Jilid 4 (Jakarta :
Pena Pundi Aksara, 2004), hal. 203, lihat pula Imam Taqiyudin Abu Bakar bin
Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, juz
I, (Beirut : Dar al-Fikr, 1994), hal. 249
[8] R. Subekti dan Tjitro Sudibyo, Kilab Undang-tindang
Hukum Perdata (Jakarta: Pradya Paramita, 1990), hal. 381
[9] Hendri Tanjung, Pengertian Upah dalam
Konsep Islam, Lihat dalam http://ilmumanajemen.wordpress.com/2009/06/20/pengertian-upah-dalam-konsep-islam/
di kutip Sabtu 16 Januari 2010
[10] M. Abdul Manan, Teori dan Praktik ekonomi
Islam, diterjemahkan oleh Nastangin, (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Prima
Yasa, 1997) hal. 118
[11] Q.S
Az-Zukruf (43) : 32
[12] Q.S
Al-Qasas (28) : 26
[13] Abi
Abdillah bin Yazid al-Qazwainy, Sunan Ibnu Majah, (Beirut : Dar al-Fikr,
2004), Juz II, hal. 20
[14] Imam
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim Ibnu Mughiroh al-Bukhary al-Ju’fi,
Shohih Bukhory, Juz III, (Semarang : Toha Putera. tt), hal. 54
[15]
Dimyaudin Juawaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar), hal. 158
[16] A. Hanafi, Ushul Fiqh, cet ke-4 (Jakarta:
Widjaya, 1962), hal. 144.
[17] Ahmad Azhar Basyir. Asas-asas Hukum…. hal. 15
[18] Muchlis
Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Prdoman Dasar Dalam Istinbtah
Hukum Islam, cet. IV (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal 10
[19]
An-Nisa’ (4) : 29
[20]
Al-Maidah (5) : 2
No comments:
Post a Comment
Coment..