Saturday 12 February 2011

MADZAHIBU AL-TAFSIR


MADZAHIBU AL-TAFSIR

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : H. Taufiq Hidayat, Lc., MIS.


Oleh :
1.      Akmalul Khuluk
2.      Arina Hidayati
3.      Imam Bukhari
4.      Imam Mustaqiem
5.      Irwan Syahidien
6.      Khoirul Fata

FAKULTAS SYARIAH JURUSAN MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI (STAIAN)
PURWOREJO
2007




BAB I
PENDAHULUAN
Tafsir merupakan suatu perangkat untuk menggali hukum-hukum dalam al-qur’an yang mempunyai porsi paling banyak. Diantaranya yang dibahas adalah
tentang metode penafsiran, aliran-aliran tafsir dan tentang kaidah-kaidah tafsir. Dalam kaitannya dengan masalah-masalah tersebut, kami akan mencoba menguraikannya. namun karena keterbatasan kemampuan kami hanya mengenai madzhab-madzhab tafsir dan hal-hal yang berhubungan dengannya yang akan kami uraikan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    PEMBAGIAN ZAMAN-ZAMAN TAFSIR
1.      Tafsir Pada Masa Nabi dan Sahabat
Pada masa Nabi dan Shabat tafsir belum berkembang pesat seperti sekarang ini. Para mufassir pada masa ini hanya sebatas menafsirkan ayat-ayat yang dibutuhkan saja. Ia diriwayatkan secara bertebaran mengikuti ayat-ayat yang berserakan, tidak tertib atau berurutan sesuai sistematika ayat-ayat al-qur’an sekarang. Di samping itu juga penafsirannya masih sangat terbatas belum mencakup keseluruhan.
Kebanyakan mereka menyandarkan langsung kepada Nabi, karena Nabi lebih memahami al-qur’an secara global dan terperinci dan merupakan tugasnya menjelaskan kepada para sahabat.
Mempelajari tafsir tidaklah sukar bagi para sahabat karena mereka menerimanya langsung dari shohibu al-risalah dan mempelajari al-qur’an dari Beliau sendiri. Para sahabat lebih mudah memahaminya karena al-qur’an dalam bahasa mereka dan sekaligus mereka menyaksikan saat turunnya ayat-ayat al-qur’an.
Para sahabat dalam menafsirkan al-qur’an berpegang teguh kepada beberapa hal sebagai berikut :[1]
a)      Al-Qur’an al-Karim ; Sebab ayat satu dengan yang lainnya saling merinci yang global, membatasi atau mengkhususkan keumuman ayat-ayat lain, inilah yang disebut menafsirkan al-qur’an dengan al-qur’an. Sebagai contoh ayat : “Dihalalkan bagimu binatang ternak kecuali yang akan dibacakan kepadamu” (al-Maidah : 1), ditafsirkan dengan ayat “Diharamkan bagimu {memakan bangkai}” (al-Maidah : 3).
b)      Nabi Muhammad saw, mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan al-qur’an, karena itu wajarlah jikalau para sahabat bertanya kepadanya ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat.
c)      Pemahaman dan ijtihad, apabila para sahabat tidak menemukan tafsir dalam al-qur’an maupun memperoleh dari Nabi, mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap kemampuan alat. Hal ini mengingat mereka adalah orang-orang arab asli yang sangat menguasai bahasa arab, memahami dengan baik dan mengetahui aspek-aspek kebalaghohan yang ada didalamnya.
Dalam hal ini kemudian terjadi perselisihan dalam kalangan sahabat. Sebagaian dari mereka hanya menggunakan riwayat semata tidak mau menggunakan ijtihad. Sebagian yang lain disamping menggunakan riwayat mereka juga mengandalkan kemampuan mereka untuk melakukan ijtihad.
Diantara sahabat yang tidak membenarkan penafsiran dengan ijtihad ialah Abu Bakr dan Umar bin Khattab. Sedang diantara sahabat yang menggunakan ijtihad disamping riwayat yaitu Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas.[2]
Kedua sahabat yang terakhir ini kemudian terus berusaha menafsirkan ayat-ayat al-qur’an menggunakan ijtihad. Hingga kemudian disaat mereka tidak menemukan kejelasan dalam al-qur’an mengenai cerita-cerita masa dulu mereka bertanya pada Ahli Kitab yang telah masuk Islam. Kemudian dari sinilah paham isroiliyyat masuk dalam tataran penafsiran.
Kemudian hal ini diriwayatkan kepada generasi selanjutnya Tabi’in, Tabi’ Tabi’in dan seterusnya. Ironisnya, paham isroiliyyat semakin nyata dan berpindah fungsi dari fungsi ijtihad menjadi fungsi tafsir tanpa adanya penelitian kembali. Sehingga memalingkan maksud al-qur’an kepada maksud yang sesuai dengan riwayat tersebut.
2.      Tafsir Pada Masa Tabi’in
Pada masa ini ilmu tafsir sudah mulai berkembang yaitu karena semakin hari permasalahan yang mereka hadapi tentang tafsir terus meningkat. Para mufassir generasi Tabi’in terus menekuni dan menyempurnakan tafsir yang telah ada. Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir yang berasal dari Tabi’in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikitpun dari Rasulullah atau sahabat apakah tafsir mereka dapat dipegang atau tidak ?
Sekelompok ulama berpendapat, tafsir mereka tidak harus dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa atau situasi dan kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat al-qur’an, sehingga mereka bisa saja berbuat salah dengan memahami apa yang dimaksud oleh al-qur’an tersebut. Sedangkan kebanyakan ulama tafsir berpendapat tafsir para Tabi’in boleh dijadikan pegangan hanya saja jika sudah jelas hal tersebut disandarkan kepada Sahabat dan Nabi.
Pendapat yang kuat ialah jika para Tabi’in sepakat atas suatu masalah dan tidak diragukan lagi keshahihannya maka kesepakatan tersebut merupakan hujjah.
Sebaliknya jika mereka berbeda pendapat sebagian dari pendapat mereka bukan merupakan hujjah, baik bagi kalangan sendiri (Tabi’in) maupun bagi generasi sesudahnya.
3.      Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pada masa ini tafsir mulai dikumpulkan dan dibukukan yaitu pada masa Daulah Abbasyiyah sekitar abad II Hijriyah. Para ahli membagi masa pembukuan menjadi empat tahap yaitu sebagai berikut :[3]
a)      Tahap Pertama
Mulai membukukan tafsir yaitu sejam zaman Muawiyah hingga permulaan Abbasiyah beriringan dengan pembukuan hadits-hadit Nabi karena tafsir merupakan salah satu bab dari bab-bab hadits.

b)      Tahap Kedua
Mulai adanya pemisahan antara hadits dan tafsir secara jelas, yaitu berdiri sendiri. Diletakkannya dari tiap ayat al-qur’an dan disusun menurut urutannya dalam mushaf. Semua tafsir ini disandarkan sanad-sanad dari Rasul, para sahabat dan Tabi’in.
c)      Tahap Ketiga
Pada tahap ini ada sekelompok yang mencoba mengolah sanad-sanad dan menyimpulkannya. Akibatnya masuk pada tafsir mereka tambahan baru mengumpulkan dari beberapa pendapat bila ada suatu pemikiran darinya maka dimasukkan kedalam tafsirnya kemudian menimbulkan keragu-raguan antara yang shohih dan yang cacat.
d)     Tahap Keempat
Tahap ini merupakan tahap yang berkelanjutan dari sejak zaman Abbasiyah sampai kepada kita sekarang ini, yaitu bahwa tafsir disimpulkan atas riwayat dari ulama salaf. Dengan tahap ini maka terjadilah percampuran antara pemahaman akal dan tafsir naqli. Dari berbagai pendapat ini maka timbul beberapa tafsir yang banyak menyimpang dari makna aslinya.
e)      Tahap Kelima
Tahap ini dinamakan dengan tafsir maudlu’i, yaitu menafsirkan satu-satu judul untuk mengimbangi tafsir yang sifatnya umum, maka lahirlah tafsir maudlu’i dari al-qur’an.

B.     MACAM-MACAM TAFSIR
1.      Tafsir bi al-Ma’tsur
a)      Pengertian
Tafsir ini sering disebut dengan Tafsir bi al-Riwayah atau Tafsir bi al-Manqul, yaitu tafsir al-qur’an yang dalam menafsirkannya didasarkan sumbernya dari penafsiran para sahabat dan dari para Tabi’in.[4]
Pada zaman sahabat kebanyakan menggunakan tafsir ini dikarenakan dari kalangan sahabat sedikit sekali yang berani melakukan ijtihad. Kemudian pada masa tabi’in dan seterusnya barulah banyak lahir para mujtahid. Madzhab Tafsir bi al-Ma’tsur ini leih terjamin dibanding yang lainnya, karena perbedaan pendapat diantara mereka sedikit sekali. Perbedaan mereka kebanyakan hanya terletak pada aspek redaksional saja sedang maknanya tetap sama, atau hanya berupa penafsiran kata-kata umum dengan salah satu makna yang dicangkupnya.
b)      Kehujjahan Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir ini merupakan tafsir yang shohih karena bersumber jelas dari al-qur’an dan sunnah. Hanya saja mufassir yang menempuh cara ini hendaknya menelusuri dahulu atsar-atsar yang ada mengenai makna ayat atau atsar tersebut dikemukakan sebagai tafsir ayat yang bersangkutan atau tidak.
Tafsir ini merupakan tafsir yang boleh dijadikan hujjah karena merupakan jalan yang paling aman untuk menjaga dari kekeliruan dan kesesatan dalam memahami al-qur’an. Bahkan sebagain mufassir ada yang berpendapat tafsir inilah yang wajib diikuti, karena ia merupakan matode yang dikenal shohih. Diantara tafsir bentuk ini yang disepakati ialah : Tafsir Ibnu Jarir, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Baghowi, dan Tafsir Adduru Matsuru fi Tafsir Ma’tsur.
2.      Tafsir bi al-Ra’yu
a)      Pengertian
Tafsir ini sering disebut Tafsir bi al-Dirayah atau Tafsir bi al-Ma’qul, yaitu tafsir al-qur’an yang disandarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufassir atas tuntunan kaidah bahasa arab dan kesastraannya, setelah dia menguasai sumber-sumber tadi.[5]
Hal ini merupakan penjelasan seorang mufassir tentang makna namun ia hanya berpegang teguh pada pemahaman sendiri dan penyimpulan yang didasarkan pada ra’yu. Padahal penggunaan ra’yu semata tanpa adanya dalil yang menjelaskan akan membawa penyimpangan makna dari yang sebenarnya.
Kebanyakan tafsir yang hanya menggunakan ra’yu semata hanya dilakukan oleh orang-orang ahli bid’ah, penganut madzhab bathil. Mereka menggunakan al-qur’an untuk ditafsirkan menurut pendapat pribadi dan tidak mempunyai dasar pijakan yang berupa pendapat atau penafsiran yang dilakukan oleh Ulama Salaf, Sahabat dan Tabi’in. namun tidak termasuk yang demikian pemahaman terhadap al-qur’an yang sesuai dengan ruh syariat dan didasarkan kepada nash-nashnya.
b)      Status kehujjahan Tafsir bi al-Ra’yu
Menafsirkan dengan ra’yu dan menggunakan ijtihad semata tanpa ada dasar yang shohih adalah tidak diperbolehkan seperti firman Allah : “Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (Al-Isra’ : 36).
Oleh karena itu golongan Salaf tidak komentar tentang penafsiran sesuatu yang mereka tidak ketahui. Tetapi jika sampai kepada hal-hal yang mereka ketahui baik berkenaan dengan bahasa maupun syara mereka melakukannya tanpa ragu. Akan tetapi apabila Tafsir bi al-Ma’tsur yang ditinggalkan dan beralih ke madzhab yang berdasarkan ra’yu semata, maka hal ini termasuk perbuatan yang mungkar. Berkenaan dengan hal ini Ibnu Taimiyah berpendapat “Tegasnya siapapun yang beralih dari madzhab sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka kepada sesuatu hal yang menyalahi ia telah melakukan perbuatan yang salah bahkan bid’ah. Sebab merekalah yang paling mengetahui tentang tafsir dan makna-maknanya sebagaimana merekalah yang lebih mengerti akan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah”.[6]
3.      Tafsir Sufi
a)      Pengertian
Tafsir yang dimaksud disini adalah tafsir yang dilakukan oleh orang-orang sufi. Dewasa ini tasawuf telah berkembang menjadi filsafat teoritis yang banyak menimbulkan gagasan-gagasan tentang tafsir yang kadang bertentangan dengan syariat.
Ibnu al-Arabi dipandang sebagai tokoh tasawuf filsafat teoritis, ia menafsirkan ayat-ayat al-qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan teori-teori tasawuf. Dan beliau adalah merupakan salah satu penganut paham Wihdatu al-Wujud.[7] Penafsiran yang seperti ini berusaha untuk membawa nash-nash ayat ke dalam arti yang tidak sejalan dengan arti lahirnya, dan masuk ke dalam teori-teori buatan manusia yang akan menyebabkan kesesatan.
b)      Contoh tafsir sufi
Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 1 yang memiliki arti “Wahai sekalian manusia, bertqwalah kepada Tuhanmu”.
Ibnu Arabi dalam menafsirkan kalimat “Bertaqwalah kepada tuhanmu” adalah “Jadikanlah bagian yang tampak dari dirimu sebagai penjagaan bagi tuhanmu, dan jadikan pula apa yang tidak nampak bagi dirimu yaitu tuhanmu sebagai penjaga bagi dirimu. Ini mengingat persoalan hanya terdiri atas cacian dan pujian. Kaena itu jadilah kamu sebagai penjagaan dalam celaan dan jadikanlah ia sebagai penjagamu dalam pujian, niscaya kamua akan menjadi orang yang paling beradab di seluruh alam”.
4.      Tafsir Isyari
a)      Pengertian
Tafsir Isyari adalah tafsir yang berupa isyarat-isyarat yang terdapat dibalik ungkapan-ungakapan ayat al-qur’an, karena setiap ayat mempunyai makna yang dhohir dan batin. Yang dhohir adalah apa yang segera mudah dipahami, sedang yang batin ialah isyarat-isyarat tersembunyi dibalik itu yang hanya nampak bagi ahli suluk.[8]
Hal seperti ini jikalau memasukkan hal-hal yang samar akan menjadi suatu kesesatan, tetapi selama ini tidak bertentangan dengan syara serta didukung oleh bukti yang menunjukkan keshohihannya dan tanpa adanya pertentangan yang nyata. Maka ia masih bisa dianggap tidak menyimpang.
b)      Status Kehujjahan Tafsir Isyari
Ibnu Qoyyim mengemukakan empat syarat bagi Tafsir Isyar untuk dijadikan hujjah :
1)      Apabila tafsir tersebut tidak bertentangan dengan makna (dhohir) ayat.
2)      Penafsiran atau makna sendiri shohih.
3)      Pada makna yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi makna isyari tersebut.
4)      Antara makna isyari dan makna ayat terdapat hubungan yang erat.
Apabila keempat syarat tersebut terpenuhi maka tafsir mengenai isyarat tersebut termasuk merupakan istinbath yang baik dan bisa dijadikan hujjah.
5.      Tafsir yang Ganjal (Gharaib al-Tafsir)
Diantara para mufassir ada yang gemar mengemukakan kata-kata yang asing dan janggal dalam menafsirkan al-qur’an. Sekalipun terkadang mereka menyimpang dari jalan yang lurus dan menempuh jalan yang berbahaya. Mereka memeras pikiran tentang sesuatu yang tidak dapat diketahui kecuali melalui Taufiqi (penjelasan Nabi).
Salah satu dari keanehan-keanehan tersebut ialah penafsiran tentang surat al-Baqarah ayat : 1
Huruf Alif dimaknai dengan “Allah menyayangi (allafa) Muhammad karena itu ia mengutus Muhammad menjadi Nabi”. Kemudian huruf Lam diartikan “Muhammad dicela (lamma) dan diingkari oleh orang-orang yang menentangnya”. Dan huruf Mim diartikan “orang-orang yang menentang itu mengigau karena sakit (mima)” Mim berasal dari kata mum yang berarti birsam (radang selaput dada) suatu penyakit yang mengakibatkan penderita mengigau.


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Untuk memahami sebuah ayat diperlukan sekali pendalaman tentang ilmu tafsir, agar tidak terjerumus kedalam praduga-praduga yang tidak jelas dasarnya. Andai saja kebanyakan dari kita mengerti lebih dalam tentang cara penafsiran yang shohih tentu tidak banyak penyesatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Namun hal yang demikian tidak mudah perlu adanya usaha yang maksimal. Dalam memahami sebuah ayatpun perlu sekali adanya ketelitian, karena seperti yang telah dipaparkan dimuka bahwa penafsiran yang menggunakan akal saja sangat berbahaya.
B.     SARAN
Harapan kita al-quran bukan sekedar sebagai bacaan semata yang dianggap oleh kebanyakan orang sekarang ini. Bahkan hanya sebagai hiasan rumah atau sebagai penangkal jin, tuyul dan sejenisnya. Namun kitab yang diturunkan oleh Allah ini benar-benar sebagai pedoman umat Islam sepanjang zaman. Wallahu A’lam


DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Khalil. 2001. Mabahis fi Ulumi al-Qur’an, (alih bahasa mudzakir). Jakarta : Litera Antar Nusa.

Maskur, Kahar. 1992. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta : Rineka Cipta.

Syadali, Ahmad. 2000. Ulumul Qur’an II. Bandung : CV. Pustaka Setia.

Ash-Shidiqy, M. Habsy. 1997. Sejarah Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.



[1] Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulumi al-Qur’an, alih bahasa Mudzakir, (Jakarta : Litera Antar Nusa, 2001), hal. 469
[2] M. Habsy ash-Shidiqy, Sejarah Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997). Hal. 196
[3] Kahar Maskur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hal. 173
[4] Ahmad Syadali, Ulumul Qur’an II, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000), hal. 54
[5] Ibid, hal. 59
[6] Khalil al-Qattan, Op.cit, hal. 488-490
[7] Ibid. hal 494
[8] Ibid, hal. 495

No comments:

Post a Comment

Coment..